GENERASI SIAP NIKAH, BUKAN NIKAH DINI: MEMBANGUN KELUARGA DENGAN ILMU DAN KEMATANGAN


   Pernikahan adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW yang paling agung. Ia bukan hanya ikatan lahiriah antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga sebuah ibadah dan perjanjian suci dihadapan Allah SWT. Dalam pernikahan terkandung tanggung jawab besar untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang, dan keberlanjutan keturunan yang baik. 

     Namun, kemuliaan pernikahan itu hanya dapat dirasakan bila dilakukan dengan kesiapan lahir dan batin. Sebaliknya, ketika pernikahan dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa kesiapan fisik, mental, dan ekonomi, maka yang seharusnya menjadi ladang pahala justru dapat berubah menjadi sumber masalah, inilah yang sering terjadi pada pernikahan dini. 


MAKNA PERNIKAHAN DINI 

     Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia matang, baik secara fisik, mental, emosional, sosial, maupun ekonomi. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimal untuk menikah bagi lagi-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Ketentuan ini dibuat bukan untuk menghalangi, tetapi untuk melindungi generasi muada agar tidak terjebak dalam pernikahan yang belum siap dijalani. 

     Sayangnya, masih banyak masyarakat beranggapan bahwa menikah muda alah hal wajar, bagjan dianggap solusi untuk menghindari perbuatan zina atau beban ekonomi keluarga. Padahal, Islam mengajarkan menikah bukan hanya untuk menyalirkan nafsu, tetapi untuk membangun tanggung jawab dan menciptakan peradaban yang baik.


PANDANGAN ISLAM TENTANG KESIAPAN MENIKAH

     Rasulullah SAW bersabda: 

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu (secara lahir dan batin), maka hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuas, karena itu lebih dapat menahan hawa nafsu." (HR.Bukhari dan Muslim)

     Dalam hadis ini, kata "mampu" (al-ba'ah) tidak hanya bermakna mampu secara fisik atau biologis, tetapi juga kemampuan finansial, emosional, spiritual, dan tanggung jawab moral. 

     Artinya, Rasulullah SAW tidak menganjurkan umatnya untuk menikah tergesa-gesa hanya karena usia muda atau dorongan hawa nafsu, tetapi menekankan pentingnya kesiapan yang menyeluruh.


BAHAYA DAN DAMPAK NEGATIF PERNIKAHN DINI 

     Usia muda adalah masa pencarian jati diri. Pada masa ini, seseorang masih labil, mudah tersinggung, dan belum memiliki kemampuan untuk mengelola emosi. Padahal, kehidupan rumah tangga membutuhkan kesabaran, kemampuan berkomunikasi, dan kedewasaan berpikir. Karena itu, banyak pernikahan dini yang tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian. 


     Secara medis, usia reproduksi yang ideal untuk menikah dan melahirkan antara 20 hingga 35 tahun. Perempuan yang hamil di usia terlalu muda berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan, seperti pendarahan, preeklampsia, bayi lahir prematur, hingga kematian ibu dan bayi. 

     Selain itu, anak yang lahir dari ibu muda lebih rentan mengalami stunting (gagal tumbuh) akibat kekurangan gizi dan kurangnya kesiapan tubuh ibu dalam mengandung. Masalah stunting ini menjadi perhatian serius pemerintah, karena generasi yang mengalami stunting akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Dengan kata lain, pernikahn dini juga dapat berdampak buruk pada pengembangunan bangsa.


     Menikah di usia muda sering membuat pasangan, terutama perempuan, berhenti sekolah. akibatnya, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, padahal pendidikan adalah kunci utama dalam membangun keluarga yang sejahtera dan berkualitas. 

     Banyak kasus menunjukkan bahwa perempuan yang menikah muda akhirnya sulit mendapatkan pekerjaan layak, dan bergantung sepenunya pada suami. Ketika terjadi konflik atau perceraian, mereka sering kali tidak memilki kemampuan ekonomi untuk bertahan hidup. 


     Pernikahan membutuhkan kesiapan finansial. Pasangan muda yang belum memiliki pekerjaan tetap akan menghadapi kesulitan dalam memenuhi keburuhan dasar keluarga, seprti pangan, papan, dan pendidikan anak. 

     Ketikan tekanan ekonomi datang, banyak yang akhirnya bertengkar, stres, dan bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Masalah ekonomi yang tidak terkendali dapat menimbulkan siklus kemiskinan baru yang sulit diputuskan.


     Kematangan berpikir dan kemampuan menyelesaikan masalah sangat dibutuhkan dalam pernikahan. Pasangan yang menikah muda sering kali belum siap menghadapi perbedaan pendapat,belum menguasai cara mengelola emosi, dan belum mampu berkompromi. Akibatnya, mereka mudah menyerah saat menghadapi konflik.

     Tidak jarang pula pernikahan dini berujung pada perceraian di usia muda, meninggalkan luka emosional bagi anak-anak yang lahir dari pernikahn tersebut. 


ISLAM MENJUNJUNG KEMASLAHATAN DAN KEADILAN

     Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadlan dan kemaslahatan. Oleh karena itu, segala hal yang membawa mudarat harus dihindari. Menikah dini, jika terbukti membawa mudarat bagi diri, keluarga, dan masyarakat, maka menundanya hingga siap adalah pilihan yang lebih selamat dan sesuai dengan prinsip maslahah mursalah, yaitu memilih jalan yang membawa manfaat dan menghindarkan kerusakan.

Rasulullah SAW bersabda : 

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ 

"Tidak boleh ada kemudaratan dan tidak boleh pula saling memudaratkan" (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menjadi dasar bahwa segala keputusan hidup, termasuk menikah, harus mempertimbangkan manfaat dan dampaknya.


PERAN ORANG TUA DAN MASYARAKAT

     Pencegahan pernikahan dini tidak cukup hanya dengan peraturan hukum, tetapi juga membutuhkan peran keluarga dan lingkungan. 


     Menikah adalah ibadah yang mulia, tapi hanya akan bernilai ibadah jika dilakukan dengan ilmu dan kesiapan. Pernikahan dini bukanlah tanda kesalehan atau keberanian, melainkan tanda bahwa seseorang belum memahami beratnya amanah rumah tangga.

     Menikah itu bukan sekadar sah di depan penghulu, tetapi juga siap memikul tanggung jawab besar sebagai suami, istri, dan orang tua.

     Kita lindungi generasi muda dari bahaya pernikahan dini. Bimbing mereka agar tumbuh menjadi pribadi yang berilmu, berakhlak, dan matang dalam berpikir serta bertindak. Karena kluarga yang kuat tidak dibangun dari usia yang muda, tetapi dari jiwa yang dewasa dan tanggung jawab yang besar.